Idul Qurban adalah salah satu hari raya di antara dua hari
raya kaum muslimin, dan merupakan rahmat Allah swt bagi ummat Nabi
Muhammad saw. Hal ini diterangkan dalam hadits Anas ra, beliau berkata:
Nabi saw datang di Madinah, mereka di masa jahiliyyah memiliki dua
hari raya yang mereka bersuka ria padanya, maka (beliau) bersabda: “Hari
apakah dua hari ini?” mereka menjawab, “Kami biasa merayakannya dengan
bersuka ria di masa jahiliyyah”, kemudian Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari raya yang
lebih baik dari keduanya; hari Iedul Qurban dan hari Iedul Fitri.” (HR.
Ahmad, Abu Daud, dan An-Nasai).
Hari Raya qurban, termasuk syi’ar umat Islam, maka hendaknya kita
menjaganya dan menghormatinya. Cara menghormati hari raya ini adalah
dengan menghidupkan sunnahnya, dan menjauhkan dari hal-hal yang bid’ah.
Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan
syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati
(Al Hajj 32).
MAKNA QURBAN
Qurban dalam bahasa Arab berasal dari kata qa-ru-ba artinya dekat.
Ibadah qurban yang di dalamnya terdapat penyembelihan hewan qurban
adalah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Ibadah qurban disebut juga “udlhiyah” artinya penyembelihan binatang sebagai qurban.
Tentang penyariatan ibadah qurban ini ditetapkan berdaasarkan
al-Qur’an maupun hadis. al-Qur’an menyinggung soal Qurban di dalam surah
al-Kautsar, “Maka dirikanlah shalat untuk Tuhanmu dan menyembelihlah”.
(al-Kautsar:2)
Kata wanhar maksudnya adalah menembelih binatang korban.
Sedangkan hadis yang menyebutkan persoalan qurban sangat banyak, akan
disebutkan di dalam tulisan ini di berbagai tempat sesuai dengan tema
masing-masing.
KEUTAMAAN QURBAN
Keutamaan qurban dijelaskan oleh sebuah hadist A’isyah, Rasulullah
s.a.w. bersabda, “Tidak ada amal yang dilakukan oleh anak Adam lebih
disukai oleh Allah di hari korban selain dari mengalirkan darah
(menyembelih qurban). Sesungguhnya korbannya itu di hari kiamat akan
datang menyertai bani adam dengan tanduk-tanduknya, bulunya dan
kuku-kukunya. Dan darah qurban tersebut akan menetes di suatu tempat
(yang diridlai) Allah sebelum menetes ke bumi, maka sempurnakanlah
korban itu ” (HR at-Tirmizi).
HUKUM QURBAN
Mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, dan
fuqaha (ahli fiqh) menyatakan bahwa hukum qurban adalah sunnah muakkadah
bagi mereka yang mampu. Tetapi Abu Hanifah (seorang ulama’ Tabi’in)
menyatakan hukumnya wajib. Ibnu Hazm menyatakan: “Tidak ada seorang
sahabat Nabi pun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” Sementara di
dalam mazhab Syafi’i muncul pendapat bahwa qurban hukumnya sunnah ‘ain
(menjadi tanggungan individu) bagi setiap individu sekali dalam seumur
hidup dan sunnah kifayah bagi sebuah keluarga besar, menjadi tanggungan
seluruh anggota keluarga, namun kesunnahan tersebut terpenuhi bila salah
satu anggota keluarga telah melaksanakannya.
Dalil yang dijadikan dasar tentang tidak wajibnya qurban, adalah
hadits Ummu Salamah: “Jika masuk tanggal 10 Dzul Hijjah dan ada salah
seorang diantara kalian yang ingin berqurban, maka hendaklah ia tidak
cukur atau memotong kukunya.” (HR. Muslim)
Kata “Dan salah seorang diantara kalian ingin berqurban”, menurut
Imam Syafi’i, adalah menunjukkan qurban tidak wajib. Sebab memungkinkan
juga adanya orang yang tidak berkeinginan, padahal ia mampu.
Sedangkan dalil wajibnya qurban menurut madzhab Hanafi adalah hadist
Abu Haurairah yang menyebutkan, bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Barangsiapa mempunyai kelonggaran (harta), namun ia tidak melaksanakan
qurban, maka janganlah ia mendekati masjidku” (H.R. Ahmad, Ibnu Majah).
Hadis ini oleh Imam Hanafi difahami sebagai suatu perintah yang
sangat kuat karena diikurti dengan suatu ancaman, sehingga lebih tepat
untuk dikatakan wajib.
Dari dua pendapat tersebut, pendapat pertama lebih kuat, karena
adanya dorongan yang kuat belum tentu bermakna sebagai kewajiban.
Apalagi dengan adanya hadis Muslim dari Ummu Salamah yang menyebutkan
bentuk pilihan, boleh memilih berkorban dan boleh tidak berkorban.
Dengan demikian ibadah qurban disunnahkan kepada yang mampu.
Ukuran kemampuan tidak berdasarkan kepada nisab, namun disesuaikan
dengan kondisi masing-masing individu. Apabila seseorang setelah
memenuhi kebutuhan sehari-harinya masih memiliki dana lebih dan
mencukupi untuk membeli hewan qurban, khususnya di hari raya iedul adha
dan tiga hari tasyriq maka berarti ia mampu.
KAPAN MENJADI WAJIB
Meskipun hukum asalnya sunnah mu’akkadah, namun qurban bisa menjadi wajib dalam keadaan dua hal;
1. Jika telah bernadzar untuk melakukan korban, sebagaimana hadis;
“Seseorang yang bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah,
hendaklah ia melakukan ketaatan itu, dan jika ia bernadzar untuk
bermaksiat maka janganlah melakukan maksiat” (HR al-Bukhari)
2. Jika telah berniat untuk melakukan korban. Menurut Imam Malik,
seseorang yang membeli binatang dengan mengatakan, ini untuk korban
makaia berkewajiban untuk melaksanakan niatnya itu.
BINATANG QURBAN
Binatang yang dibolehkan untuk menjadi qurban adalah onta, sapi dan
kambing atau domba. Tidak boleh berkorban dengan selain ketiga macam
binatang tersebut
Adapun pelaksanaan korban, binatang tersebut ditentukan; “Dari Jabir,
berkata: Rasulullah saw bersabda: Janganlah kalian menyembelih kecuali
musinnah, akan tetapi jika kalian merasa berat hendaklah menyembelih
kambing Al-Jadza’ah (HR. Muslim dan Abu Daud).
Yang dimaksud dengan Musinnah yaitu jenis unta, sapi dan kambing atau
domba. Umur kambing adalah ketika sudah sempurna usia setahun dan
memasuki tahun kedua, untuk sapi telah sempurna usia dua tahun dan masuk
tahun ketiga, sedangkan unta telah sempurna usia llima tahun dan telah
menginjak tahun keenam. Menurut Ibnu at-Tin, yang dinamakan musinnah
adalah ketika sudah bergani gigi. Sedangkan jadza’ah yaitu kambing atau
domba yang berumur setahun pas menurut pendapat jumhur ulama. Tetapi ada
yang berpendapat, kambing usia 6 bulan sudah masuk jadza’ah.
Binatang Korban yang Paling Utama
Sejauh ini tidak ada penjelasan khusus dari Rasulullah tentang
binatang yang paling utama untuk dijadikan qurban. Dengan mengambil
pelajaran dari keutamaan bersegera menghadiri shalat Jum’at, bisa
disimpulkan bahwa binatang yang paling utama menjadi korban adalah
adalah onta, setelah itu sapi, setelah itu baru kambing atau domba.
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa
mandi pada hari Jum’at seperti mandi junub, kemudian berangkat (shalat
Jum’at) pada urutan pertama maka seolah-olah ia berkurban dengan seekor
onta. Dan orang yang berangkat pada barisan kedua, maka seolah-olah ia
berkorban dengan seekor sapi, dan barangsiapa berangkat pada urutan
ketiga maka seolah-olah ia berkorban dengan seekor domba. Barangsiapa
berangkat pada urutan keempat maka selah-olah ia berkorban dengan ayam,
dan yang berangkat pada urutan kelima seolah-olah ia berkorban dengan
telur. Jika Imam sudah keluar maka malaikat akan datang untuk
mendengarkan dzikir (khutbah)” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Adapun bagi yang berkorban dengan seekor kambing atau domba, yang
paling utama adalah seperti yang pernah dijadikan korban oleh Rasulullah
saw,
“Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah saw memerintahkan menyembelih
domba yang bertanduk baik, dan sekitar kaki, perut dan matanya berwarna
hitam. Kemudian didatangkan kepada beliau, lalu disembelih.” (HR. Abu
Daud).
Hewan yang Dilarang Dijadikan Qurban
Ada beberapa cacat pada binatang yang nenyebabkan ia tidak boleh
dijadikan binatang korban. Larangan itu telah dijelaskan oleh Rasulullah
saw.
Ada empat hal yang tidak boleh dalam berkorban, 1) buta sebelah mata,
yang tampak jelas kebutaannya 2) sakit yang jelas sakitnya, 3) pincang
yang nyata-nyata pincangnya, dan 4) kurus tidak berlemak (HR Abu Dawud)
Selain keempat tersebut Rasulullah juga melarang berkorban dengan
binatang yang tanduknya pecah, atau telinganya hilang sebagian.
Dari Ali, ia berkata, “Rasulullah saw melarang berkorban dengan
binatang yang pecah tanduknya dan telinganya(at-Tirmidzi, Ibnu majah dan
Ahmad)
Sa’id bin Musayyib menuturkan, bahwa binatang yang kehilangan
setengah atau lebih tanduk atau telinganya maka tidak selayaknya untuk
dijadikan korban. Tetapi para ulama’ menjelaskan bahwa kalau ia
kehilangan sebagain telinga, tanduk atau ekornya dan tidak sampai
setengahnya dan bukan karena kesengajaan maka masih boleh digunakan
untuk korban. Demikian juga binatang yang terkena sedikit penyakit
kulit, boleh digunakan untuk berkorban.
Binatang yang Dikebiri
Sejauh ini tidak ada larangan berkorban dengan binatang yang
dikebiri. Meskipun sebenarnya ada cacat, khususnya dalam reproduksi,
namun cacat dalam reproduksi ini tidak menyebabkan suatu binatang
dilarang untuk dijadikan korban. Bahkan al-Haitsami di dalam kitab
Majma’ az-Zawaid menyebutkan adanya beberapa ulama’ yang menyebutkan
bahwa nabi saw pernah melakukan qurban dengan binatang yang dikebiri.
KORBAN UNTUK PATUNGAN
Satu ekor kambing atau domba bisa diniatkan pahalanya untuk dirinya dan keluarganya meskipun jumlah keluarganya banyak.
“Berkata Atha bin Yasar: Aku bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari,
bagaimana sifat sembelihan di masa Rasulullah saw, beliau menjawab: jika
seseorang berkurban seekor kambing, maka untuk dia dan keluarganya.
Kemudian mereka makan dan memberi makan dari kurban tersebut.” (HR.
Tirmidzi, Ibnu Majah)
Sedangkan untuk seekor sapi bisa diniatkan untuk 7 orang, sebagaimana hadis berikut;
“Dari Jabin, dia berkata: Kami bersama Rasulullah saw pada tahun
Hudaibiyyah seekor sapi untuk tujuh orang dan seekor onta yang gemuk
untuk 7 orang.” (HR Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).
Dan seekor onta, menurut madzhab Syafi’I, Hanafi, dan mayoritas
ulama’ bisa untuk7 orang. Tetapi menurut Ishaq bin Rahawiyah dan Ibnu
Khuzaimah, bisa untuk 10 orang. Alasan Ishaq adalah hadis dari Ibnu
Abbas berikut;
“Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Kami bersama Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan kemudian tiba hari Ied. Maka
kami berserikat tujuh orang pada seekor sapi dan sepuluh orang pada
seekor unta.” (HR At-Tirmidzi).
Demikian ketentuan rombongan dalam berkorban. Tetapi sekarang ini
muncul gejala baru, melakukan iuran oleh orang banyak, untuk membeli
seekor binatang korban, lalu binatang itu disembelih dengan nama korban.
Korban semacam itu tidak sah.
WAKTU PENYEBELIHAN
Permulaan pelaksanaan penyembelihan hewan kurban adalah setelah selesai shalat Ied Adha. Hal ini didasarkan kepada hadis;
Dari Barra bin Azib ra, ia berkata: aku mendengar Rasulullah saw
berkhutbah, beliau bersabda: Sesungguhnya perkara yang pertama kita
mulai pada hari ini adalah kita shalat kemudian menyembelih. Maka barang
siapa yang melakukan hal itu, dia telah mendapatkan sunnah kami. (HR
al-Bukhari)
Di dalam riwayat muslim disebutkan adanya tambahan penjelasan,
Dan barang siapa yang telah menyembelih (sebelum shalat), maka
sesungguhnya sembelihan itu adalah daging yang diperuntukkan bagi
keluarganya, bukan termasuk hewan kurban sedikitpun.” (HR. Muslim).
Diperbolehkan untuk menunda penyembelihan hewan kurban, pada hari
kedua dan ketiga setelah hari Ied. Dan batas akhir penyembelihan adalah
hari tasyriq yang terakhir, sebagaimana diterangkan dalam hadits dari
Jubair bin Muth’im bahwasanya beliau saw bersabda:
“Setiap hari tasyriq ada sembelihan.” (HR. Ahmad).
TEMPAT MENYEMBELIH
Dalam rangka menampakkan syiar Islam dan kaum muslimin, disunnahkan
menyembelih di lapangan tempat shalat Ied, sebagaimana hadis dari Ibnu
Umar.
“bahwa Nabi saw: menyembelih di tempat shalat Ied.” (HR. Bukhari).
LARANGAN MEMOTONG RAMBUT DAN KUKU
Orang yang hendak berqurban, tidak diperbolehkan bagi dia memotong
rambut dan kukunya sedikitpun, setelah masuk tanggal 1 Dzulhijjah hingga
shalat Ied.
“Dari Ummu Salamah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Apabila
kalian melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian
hendak menyembelih, maka hendaknya dia menahan (yakni tidak memotong)
rambut dan kukunya.” (HR. Muslim).
Larangan memotong kuku dan rambut ini berlaku dengan segala macam
caranya, baik dengan gunting atau yang lainnya. Demikian juga dalam hal
larangan memotong rambut; baik gundul, memendekkan rambut, mencabutnya,
membakarnya atau selain itu. Larangan di dalam hadis ini difahami oleh
para ulama’ sebagai haram. Sebab setiap larangan berfungsi untuk
mengharamkan, kecuali apabila ada keterangan lain yang menjelaskan
ketidakharamannya. Tetapi kalau ada yang melanggar larangan tersebut
hendaknya minta ampun kepada Allah dan tidak ada fidyah (tebusan)
baginya, baik dilakukan sengaja atau lupa.”
CARA MENYEMBELIH
Dalam menyembelih binatang diharuskan untuk meminimalisir rasa sakit.
Di antara cara yang bisa meminimalisasi rasa sakit adalah dengan pisau
yang tajam. Sebagaimana disebukan di dalam hadis
Sesungguhnya Allah telah menetapkan perbuatan baik (ihsan) atas
segala sesuatu . Jika kalian membunuh maka berlakulah baik dalam hal
tersebut. Jika kalian menyembelih berlakulah baik dalam hal itu,
hendaklah kalian mengasah pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya.
(Riwayat Muslim)
Sebelum menyembelih mengucapkan bismillah wallahu akbar, membaringkan
sembelihan pada sisi kirinya karena yang demikian mudah bagi si
penyembelih memegang pisau dengan tangan kanannya, dan menahan lehernya
dengan tangan kiri.
“Dari Anas bin Malik, dia berkata: Bahwasanya Nabi saw menyembelih
dua ekor dombanya yang bagus dan bertanduk. Anas berkata, aku melihat
beliau menyembelih dengan tangan beliau sendiri dan aku melihat beliau
meletakkan kakinya di samping lehernya dan mengucapkan basmallah dan
takbir.” (HR. Muslim).
Selain membaca basmalah dan takbir, juga membaca do’a, allahumma
hadza ‘an fulan (nama yang berkorban). Tetapi khusus untuk Rasulullah
saw, ketika menyembelih menyertakan seluruh ummat beliau, seperti
disebutkan di dalam riwayat berikut;
Dari jabir bin Abdullah, ia berkata, “Aku mengikuti Rasulullah saw
shalat Idul Adha di tanah lapang, setelah selesai berkhutbah beliau
turun dari mimbarnya dan mendatangi dombanya, lalu Rasulullah saw
menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri seraya berkata “Bismillah
Wallahu Akbar, ini (kurban) dariku dan dari umatku yang tidak
menyembelih.” (HR. Abu Dawud)
Berdasarkan hadis di atas pula orang yang berkorban disunnahkan untuk
memotong sendiri hewan kurbannya. Tetapi kalau tidak bisa menyembelih
sendiri boleh mewakilkan kepada orang lain. Meskipun demikian
disunnahkan baginya untuk menyaksikan penyembelihannya dan membaca, inna
shalati wa nusuki …
MEMBAGIKAN DAGING KURBAN
Bagi yang berkorban disunnahkan makan daging qurbannya, menghadiahkan
karib kerabatnya, bershadaqah pada fakir miskin, dan menyimpan sebagian
dari dagingnya. Nabi saw bersabda:
“Makanlah, bershadaqahlah, dan simpanlah untuk perbekalan.”(HR.Bukhari Muslim).
Daging sembelihan, kulitnya, rambutnya dan yang bermanfaat dari
kurban tersebut tidak boleh diperjualbelikan menurut pendapat jumhur
ulama, dan seorang tukang sembelih tidak mendapatkan daging kurban.
Tetapi yang dia dapatkan hanyalah upah dari yang berkurban.:
“Dari Ali bin Abi Thalib ra, dia berkata: Rasulullah saw
memerintahkan aku untuk menyembelih hewan kurbannya dan membagi-bagi
dagingnya, kulitnya, dan alat-alat untuk melindungi tubuhnya, dan tidak
memberi tukang potong sedikitpun dari kurban tersebut. Tetapi kami
memberinya dari harta kami” (HR. Bukhari Muslim).
Kulit Korban
Tentang Kulit Qurban, Ulama sepakat bahwa kulit qurban boleh diambil
oleh orang yang berqurban dan boleh juga dihadiahkan kepada orang lain.
Akan tetapi, tentang bolehnya pengqurban mengambil kulit qurban, para
ulama berbeda pandangan. Jumhur ulama berpandangan: “Pengqurban boleh
mengambil kulit hewan qurbannya sendiri.” Sebagian ulama lainnya
menyatakan: “Pengqurban boleh menjual kulit qurbannya sendiri lalu ia
mengambilnya atau bershadaqah dengannya.
Membagikan kepada Non-Muslim
Persoalan ini juga merupakan wilayah yang diperselisihkan di antara
para ulama’. Sebagian membolehkan kita memberikan daging qurban untuk
non muslim (ahlu zimah), sebagian lainnya tidak membolehkan.
Kalau kita telusuri lebih dalam literatur syariah, kita akan menemukan beberapa variasi perbedaan pendapat, yaitu:
Imam Al-Hasan Al-Basri, Al-Imam Abu Hanifah dan Abu Tsaur berpendapat
bahwa boleh daging qurban itu diberikan kepada fakir miskin dari
kalangan non muslim. Sedangkan Al-Imam Malik berpendapat sebaliknya,
beliau memakruhkannya. Al-Laits mengatakan bila daging itu dimasak dulu
kemudian orang kafir zimmi diajak makan, maka hukumnya boleh. Sementara
Al-Imam An-Nawawi mengatakan bahwa umumnya ulama membedakan antara hukum
qurban sunnah dengan qurban wajib. Bila daging itu berasal dari qurban
sunnah, maka boleh diberikan kepada non muslim. Sedangkan bila dari
qurban yang hukumnya wajib, hukumnya tidak boleh.